Monday, November 15, 2010

Lita dan Dinda

Mengungsi ke Bali adalah opsi terbaik menghadapi bencana merapi meletus. Satu minggu lebih Lita berada di Bali dan kebetulan Lita bisa merayakan otonan disana. Lita pun menjadi lebih akrab dengan teman2nya termasuk sepupunya Dinda. Lita bahkan menginap semalam di rumah Dinda. Dinda adalah anak dari pak Kades yg adalahsepupu ayah. Dulupun ayah bersahabat dekat dengan pak Kades seperti Lita dan Dinda saat ini. Semoga tali persaudaraan kita terus terpelihara.

Friday, October 15, 2010

Sebuah cerita dari Eropa

Jogja-Jakarta
Untuk pertama kalinya aku ke eropa. Melangkah menuju airport Jogja rasanya sangat berat, bukan karena Eeropa yg harus ditempuh 17.5 jam dari jogja, tapi karena harus kutinggalkan gadis kecilku di Jogja. Hanya dia kekuatanku satu-satunya utk berani melangkah. Never stop learning, itu yg selalu kutekankan padanya dan pada diriku. Jogja-Jakarta terasa sangat lama karena memang keberangkatan pesawatku delay 1 jam. Garuda punya reputasi yg baik sebenarnya tapi entahlah kenapa kali ini lain.

Ada ibu setengah baya duduk disebelahku. Gayanya sih orang berada yg biasa terbang, tapi pertanyaannya padaku meruntuhkan persepsiku. Mbak, kalau tiket ini ada nomer tempat duduknya gak? Kusebutkan nomer tempat duduk yg tertera di boarding pass itu. Saya biasanya bawa mobil sendiri mbak dari Medan-Jogja, tapi karena meetingnya buru2 jadi tumben naik pesawat nih. Diapun, dengan usia yang sudah cukup matang, baru pertama kali naik pesawat ke Medan. Akupun baru pertama kali naik pesawat ke Eropa. Kami mempunyai kesamaan rupanya.

Jakarta-Kuala Lumpur
Walaupun kedatangan pesawat dari jogja terlambat untung aku masih punya waktu utk check in di keberangkatan international. Hanya satu kekhawatiranku, mudah2an fiskal bias lolos. Ada cerita di balik fiscal ini. Sehari sebelum keberangkatanku, aku chatting dengan suamiku. Aku tanya ”eh Yah habis check-in terus ke mana?” Ayah menjawab ”Oh check fiscal dulu baru masuk gate.” Hahhh? Fiscal? Aku lupa belum urus NPWP. Konon jika punya NPWP aku akan terbebas membayar fiscal sebesar 2,5 jt. Aku gak mau itu terjadi. Akhirnya aku registrasi online dan keesokan harinya ke kantor pajak utk mengambil kartu. Singkat cerita hari itu juga jadi. Lega rasanya, terbayang uang 2,5 jt tidak jadi melayang. Tapi begitu kartu itu ditanganku dan ngobrol lebih jauh tentang rencana keberangkatanku besok ke Swiss, tiba2 petugas itu menjelaskan bahwa kartu baru terdaftar tapi baru ada di system 3 hari lagi. Jadi aku tetep harus bayar fiscal. Hahhhh….. luluh lantak harapanku, uang itu akan melayang juga. Lunglai… diatas motor badanku gontai ternyata sia-sia usahaku….



Cerita dari Sasi, teman dekatku agak menenangkanku, ternyata jika punya visa luar negeri (negara mana saja) yang masih berlaku dan bukti pernah melapor di perwakilan Indonesia di negara tersebut ada dipaspor yg artinya saat itu sedang berstatus tinggal di luar negeri tidak akan ditarik fiscal. Aku punya visa Australia yang masih aktif, mudah2an ini bisa jadi jalan keluar. Pak Yodipun menenangkanku, “ya innocent aja, kalaupun bayar nanti diganti Tropmed.” katanya Wah melegakan semua. Dalam antrian check in aku ngobrol dengan seorang bapak dari Malaysia yg berdiri didepanku, dengan logatnya yg membuatku rindu dengan sahabat-sahabat Malaysiaku di Australia. Dia seorang bisnisman yg dalam setahun 2-3 kali ke Jakarta. Prospek ekonomi di Indonesia dinilainya maju pesat. Yang aku terkesan ketika tiba saatnya dia maju ke counter, dia beri kesempatannya padaku, akupun tak mau, tapi dia meyakinkanku bahwa aku harus menerima tawarannya. How gentleman bapak ini. Terimakasih Pakcik…..



Di meja fiscal itu… kuserahkan pasporku…. Wah hari ini lumayan ramai ya pak…. Kataku…. Itu saran suamiku utk membuka pembicaraan denga petugas fiscal supaya terkesan kita sudah terbiasa datang dan pergi ke luar negeri. Saran yg cukup tidak masuk akal sebenernya untuk meloloskanku dari fiscal. Tapi it did work. Tapi itu bukan karena pertanyaanku itu mengandung magic, tapi memang dia melihat status visa Australiaku dan bukti lapor konjen di halaman belakang. Hahhhh lega rasanya.



KLM 810 adalah Dutch Airways yg akan menerbangkanku menuju Amsterdam dengan transit di Kuala Lumpur. Untung tidak ada delay, bahkan tepat waktu. Sebelum take off tak lupa aku kirim sms bb_unreg kirim ke 333 utk menonaktifkan fasilitas bb dan internet yg konon amat sangat mahal jika dipakai di luar negeri. No 25E adalah kursiku…. Aha aku duduk di tengah diapit seorang bule dan seorang Malaysia. Bule artinya aku tak tau darimana yg pasti kulit putih. Singkat kata kami ngobrol. Dia seorang Italian, bisnisman…. Mumpung dia seorang European akupun gunakan kesempatan tanya banyak hal tentang Swiss, Bahas Perancis, cuaca, dll. Diapun banyak bertanya tentang Indonesia terutama tentang penyakit malaria, mudah-mudahan dia tidak menguji ilmu kedokteranku, tapi memang dia ingin tahu. Bukan karena dia ganteng saja, aku menjadi akrab dengannya, tapi aku mau uji coba kemampuan Bahasa Inggrisku dengan orang Eropa. Ternyata memang beda ketika bicara dengan seorang Australia yg penuh dgn slang. Aku sangat mudah mendengar setiap kata yg dia ucap. Singkat kata, aku tahu bahwa namanya STEPHANO LAUSANO… Sebuah kebetulan, aku akan menuju kota Lausanne seperti nama belakang laki-laki itu.



Kuala Lumpur - Amsterdam
Tidak banyak kali ini aku berinteraksi dengan penumpang di sebelahku. Bukan karena dia wanita aku gak selera ngobrol dengannya tapi mata ini tidak mau kompromi utk menutup karena perjalan kali ini dari jam 9 malam hingga 6 pagi. Mataku hanya terbuka sesaat ketika pramugara yg ganteng-ganteng itu membawakan makan malam atau snack atau minuman kepadaku. Selanjutnya tidur. Rencanaku untuk membaca journal itu atau menonton movie aku urungkan. Tidur sepertinya solusinya.



Amsterdam - Geneva
Amsterdam, Negeri Kincir Angin itu terlihat masih tenggelam dalam kegelapan ketika pesawatku mendarat tepat puku 6.10 pagi. Kali ini aku harus pindah pesawat KLM 1925. Kudekati mesin check in di pintu keluar. Lalu kuikuti langkah penumpang lainnya menuju gate C13. Antrian itu sangat panjang sebelum bertemu dengan orang imigrasi Belanda. Sekitar 1 menit mengantri berdiri dan mengantuk akhirnya lewat juga dan langsung masuk pesawat. Pesawat ini jauh lebih kecil dari sebelumnya. Penumpangnya pun tak banyak, kenapa ya? Padahal weekend biasanya org suka jalan-jalan. Jawabannya nanti.



Seorang ibu datang menghampiriku, pasti dia akan duduk disebelahku pikirku. Benar, ibu itu duduk dekat jendela. Pertanyaan cuaca rasanya topik yg tepat utk membuka sebuah percakapan dengan orang barat. Jangan pernah Tanya usia, status pernikahan dan jumlah anak. Cara ini pun berhasil. Ibu ini datang ke Geneva utk menghadiri pemakaman kakaknya, yg jg seorang dokter. Beliau meninggal karena serangan jantung yg kedua. Ibu ini, yg tak lama kemudian aku tau namanya Narges Savary, sangat menyayangkan kakaknya yg ahli jantung akhirnya harus meninggal karena penyakit jantung. Ini karena dokter terlalu sibuk mengurusi kesehatan orang lain sementara tidak sempat mengurusi kesehatannya sendiri. Tapi kan dokter juga manusia, dia bisa sakit, bisa sedih, bisa capek, bisa marah…. Yang pasti dia sangat bersedih. Topikpun berkembang dan menuju ke arah keluarga. Dia serang Iranian, bersuamikan Palestina, dengan anak kandung 5 orang yg semuanya sudah dewasa dan hidup sendiri. Saat ini dia punya 4 orang anak lagi dirumahnya… tentu saja bukan karena dia melahirkan anak lagi, tapi mereka adalah anak adopsi. Sungguh mulia hati ibu ini sampai mengadopsi 4 anak orang tak mampu dari palestina. Diapun menawarkan rumahnya utk dikunjungi jika mampir ke Amsterdam. Tambah satu temanku, kamipun bertukar kartu nama. NARGES SAVARY



Geneva - Lausanne
Sampai di Geneva kuambil bagasiku yg hanya satu koper kecil supaya bebas pergerakanku, aku langsung menuju pintu keluar. Tak ada custom yg ketat seperti waktu di Amsterdam ataupun Australia. Entah kenapa, mungkin karena dianggap penerbangan Uni Eropa ya…. Mataku mencari petunjuk menuju Geneva Airport station. Dalam perjalanan kubertemu seorang bapak yg nampaknya juga punya arah tujuan yang sama. Dia ternyata orang new York yang sering datang ke Geneva utk bisnis. Tiket (Billets) intercity dengan nama kereta SBB (entah apa kepanjanjangannya) menuju Lausanne seharga 25 CHF, ini transaksi pertamaku dengan mata uang CHF. Tinggal dikalikan 9250 saja akan menjadi rupiah. Atau kita kalikan seribu aja biar terasa murah, no big deal lah…. Perjalanan memakan waktu 45 menit. Aku duduk di lantai atas, dekat restoran, tapi tidak di dalam restoran. Bon apettite… tulisan dipintu masuknya. Jadi ingat 4 kata yg aku pelajari sehari sebelum berangkat: bonjour, bonjoir, merci, bon apetite. Kali ini nambah billets. Ternyata belajar bahasa orang menyenangkan juga, terutama kalau dalam situasi kepepet. Kereta itu berhenti di Lausanne sebelum melanjutkan perjalanan menuju Zurich.



Lausanne airport - CHUV
Turun dari kereta, kuperlambat langkah kakiku sampil mencari kata-kata exit atau petunjuk menuju metro. Menurut catatanku aku harus naik metro M2 menuju Croissetes berhenti di CHUV. Aku baru tersadar, tak ada satupun tanda dalam Bahasa Inggris…. Semua dalam bahasa yg aku tak paham, French. Sortie… aku menduga, pasti ini keluar artinya. Ramai… namaya juga stasiun ya. Mataku mencari tanda ”i” atau informasi… yg pasti tahu Bahasa Inggris utk aku tanya. Di seberang ada tulisan metro, tapi gak yakin itu subway ato nama toko. Putus asa, akhirnya aku bertanya pada 2 laki-laki yg kuanggap nampak intelek dengan harapan bisa Bahasa Inggris… jawabannya: metro… bla bla bla…. in French… kecewa hatiku, sambil ngedumel ganteng2 kok gak bisa Bahasa Inggris :) Langkahku gontai menuju keluar gedung itu, dan akupun menemukan information disana. Setelah antri lama, petugaspun meyakinkanku bahwa subway metro memang di seberang jalan itu. Akupun jalan menuju ke sana. Sekarang beli tiket dulu… hanya ada mesin. Untung ada opsi English disana… 2,8 CHF… keretapun datang 2 menit kemudian dan mengantarku ke CHUV. CHUV adalah hospital of Lausanne. Tepat sekali, setelah 2 kali stop, aku pun sampai CHUV. Kulihat gedung besar itu, hospital batiment, yg artinya gedung rumah sakit. Kubuka catatanku: jalan 3 menit naik ketemu MC restoran dan ke kanan. Entah memang aku sudah lelah dengan perjalanan yg memakan waktu 15 jam lebih dengan perbedaan waktu 5 jam sehingga aku kena jetlag, tapi jalan naik bukit 3 menit itu terasa naik gunung Himalaya. Nafasku terputus2 sambil mata mencari alamat gedung tempat tinggalku. De Shalaz 10 – 14.



De shalaz 10, 243
Kubuka lagi catatanku: cari gedung 10 lantai bawah utk mengambil kunci kamar. Kuketuk pintunya, kupencet belnya, sampai kugedor pintu itu, tak ada yg jawab… artinya tak ada orang. Rasa lelah ini membuatku sedikit mudah panik. Apalah jadinya perjalanan yg terasa lancar ini kacau karena aku harus tidur di luar akibat tak ada kunci. Kucari orang sekitar utk bisa kutanya. Seorang gadis di belakang gedung sedang konsentrasi memotret kupu2 dengan camera nikonnya. Akupun memberanikan diri mengganggu lamunannya. Menurutnya tak pernah ada petugas saat weekend. Dia sendiri adalah penghuni gedung yg sama denganku. Lalu apa yg hrs kulakukan? Aku coba cari peserta lain yg mgkn sudah datang. Ternyata aku orang pertama yg datang. Jadi tak ada pilihan lain selain menelpon security dengan HPku yg terisi 500 rb. 5 menit bicara rasanya lama terutama karena pulsaku dalam sekejab habis setengahnya. Tapi aku tak ada pilihan lain. Jawabannya, aku harus kembali ke gedung RS itu utk ambil kunci kamar. Membayangkan perjuangan naik bukit lagi membuatku sedikit emosi. Emosi karena informasi yg diberikan panitia salah. Di gedung yg sama aku bertemu partisipan lain dari India, BISWANATH BASHU. Kamipun meninggalkan koper disana dan menuju ke CHUV. Sebuah amplop diberikan dengan tulisan nama dan no kamar. Name: Mr. Palupi… wahhhh aku dikira mister…. :) Dalam perjalanan kembali, aku bertemu kawan lain dari Vietnam NGUYEN KIM CHONG. Satu persatu aku bertemu dengan kawan2 lain: DORCAS YEBOAH dari Ghana, CHAMILA ADHIKARAM dari Srilangka, juga KAMAL RAJ dari Nepal.



[bersambung] …

Saturday, October 09, 2010

Kinderstation preschool


Lita saat ini bersekolah di Kinderstation preschool yang tempatnya tidak jauh dari rumah. Hari pertamanya sekolah Lita sangat bersemangat. Tas baru, sepatu baru, seragam baru, guru dan teman baru.

foto lita hari pertama sekolah dan bersama teman barunya
membuat pig's house made of sticks

Terimakasih untuk mbah dan kakung yang sudah membantu mengasuh Lita dan antar jemput lita sekolah. Wish Lita will never stop learning....

Wednesday, September 01, 2010

Lita and Ibu di Jogja

Setelah 2 th kami bersama di Wollongong, akhirnya kami pulang ke Indonesia. Kali ini tidah dengan ayah karena ayah masih harus menyelesaikan studinya sampai tahun depan. Kepulangan ibu dan Lita kali ini for good, tidak kembali ke sana. Ibu mendapat kesempatan untuk belajar lagi. Singkat cerita, kami sudah seminggu di tanah air. 4 Hari kami di Bali dan 4 hari kami sudah di Jogja. Berikut foto2 pertama yg sempat ibu ambil dari moile ibu.

Lita with playschool komputer

Always Happy
Lita loves ninik
Hari ini adalah hari pertama ibu menginjak kaki pertama di kampus. Perasaan bercampur aduk melihat keramaian kampus dan kemegahannya. Memasuki FK UGM membuat jantung ibu berdegub kencang. Entah apa yg menyebabkannya, tapi yg pasti membuat ibu berdoa semoga hari ini lancar.
Gedung Lab Mikro terletak disamping masjid. Nampak gedung tua itu masih berdiki kokoh, namun bangunan disebelahnya sedang dalam pembangunan. Dalam hati ibu menduga, mungkin dibangun lab baru. Menaiki tangga menuju ruang dosen kemudian sedikit ragu karena nampak sepi sekali. Ibu mengeluarkan HP dan mencoba sms, karena ibu sudah datang tepat waktu. Setelah menunggu 15 menit tak ada jawaban, ibupun memberanikan diri masuk pintu bertanda "biohazard" dan menelusuri koridor sedikit gelap itu. Ruang satu-satunya yg ada penghuninya aku datangi. Ibu bertemu dengan Ibu Sunyi.... untungnya langsung dia ingat siapa ibu, mengingat dulu sewaktu ibu masih kuliah sempat menjadi asisten disana dan juga mengerjakan skripsi di Lab tua itu. Kamipun segera akrab dan kebetulan sekali Bu Sunyi inilah yg bekerja bersama Ibu Ning (calon supervisor). Singkat cerita ibu mendapat bahan-bahan bacaan dan sedikit penjelasan tentang penelitian yg sedang dilakukan. Ibu sempat juga bertemu pembimbing skripsi ibu, Bu Hera disana. 3 jam kemudian ibu Ning datang dan kamipun berdiskusi. Ternyata Lab yg sedang dibangun adalah Lab khusus TB. UGM telah ditunjuk sebagai pusat TB Lab di Indonesia oleh KNCV dan NTP. Ke depannya diharapkan akan berkembang dengan penelitian yg baru.
Ibu beruntung sekali sudah bisa langsung mengamati kegiatan pembuatan media, proses dekontaminasi dan inoculasi sputum sampai pada proses inkubasi. Ibu merasa happy karena mendapat ilmu baru dan teman yg bisa diajak bekerjasama degan baik. Thanks God.

Friday, May 07, 2010

Stretching Dinosaurus

Daya imajinasi Lita melambung tinggi menghasilkan karya-karya yang luar biasa. Walaupun potongan kertas bertebaran dimana-mana, sticky-tape menempel dimana-mana, Lita membuat imaginasinya nyata.

Stretching Dinosaurus dibuatnya dari kertas yang dipotong memanjang utk bagian lehernya, dilipat-lipat sehingga memendek. Ditempelnya diatas kertas dengan gambar sebuah pohon dengan daun dilengkapi dengan akarnya yang menancap di dalam tanah. Ditariknya leher Dino mencapai daun2 diatas pohon. Begitulah cara Dino makan daun. Litapun menjelaskan fungsi akar supaya pohon tidak bisa dicabut :) Ditambahkannya potongan kertas kecil dengan ditambahkan asesoris kaki, mata dan mulut, yang ternyata seekor semut. Nampaklah dalam imajinasi Lita seekor Dinosaurus yg besar dan seekor semut yang kecil. Bravo Lita sayang, tetaplah berkarya.

Monday, May 03, 2010

Lita belajar Berenang

Sebenarnya Lita sudah akrab dengan kolam renang sejak dulu. Lita pertama kali dicemplungkan (dan dengan sengaja dibiarkan tenggelam sesaat) pertama kali ketika Lita berumur 4 bulan. Sejak itu, Lita sering diajak berenang, baik ketika di Indonesia maupun setelah kembali ke Australia. Meski begitu, Lita baru belajar berenang secara resmi sejak 1 Mei 2010. Lita didaftarkan sekolah renang di Beaton Park, tidak jauh dari rumah.

Lita memang tidak pernah takut air sejak dulu. Oleh karena itu, gurunya tidak mengalami kesulitan mengajak Lita masuk ke kolam. Sally, demikian nama gurunya, bahkan terheran-heran karena Lita langsung menikmati, tidak takut sedikitpun. Berikut ini gambar latihan renang Lita yang pertama.


Monday, April 19, 2010

Lembaran baru 2010

Pembaca mungkin sudah banyak yang melupakan kami. Mereka yang dulu cukup rajin mampir ke rumah ini, mungkin sudah tidak pernah datang lagi karena selalu kecewa mendapati rumah kami yang tak terurus, tidak pernah disapu dan berdebu. Singkat kata, terabaikan.

Begitulah suka duka memelihara rumah maya seperti ini. Karena alasan yang kadang tidak masuk akal, rumah bisa terabaikan hampir enam bulan lamanya. Kami menyadari telah gagal menjaga energi untuk selalu merawat rumah yang sudah berumur lebih dari lima tahun ini. Di suatu masa dulu, rumah kecil ini jadi persinggahan banyak sahabat yang ingin mengetahui cerita sederhana kami sebagai keluarga. Entah apa pasalnya, kami teledor untuk menjaga energi. Kepada mereka yang kecewa, maafkan kami.

Ada beberapa hal sesungguhnya bisa menjadi alasan mengapa rumah ini berantakan tidak terawat. Kegemaran keluarga dengan Facebook adalah satu yang bisa 'dipersalahkan' jika harus ada yang dipersalahkan. Dalam waktu yang tidak terlalu banyak tersedia, saya dan Asti lebih sering terjebak dalam kenikmatan berbagi secara interaktif di Facebook. Kemampuan menulis hanya terbatas pada mengganti status saja. Sebenarnya itu sangat mengenaskan, tanpa mengatakan Facebook itu buruk. Facebook juga terbukti telah mempu menjaga ikatan persahabatan. Meski demikian, menulis di blog seperti ini tetap menjadi hal yang penting dan menjangkau kalangan yang juga berbeda.

Meski telah teledor, orang katanya tidak boleh terlalu lama menyesali tanpa berbuat apa-apa. Kami akan coba bangkitkan kebiasaan berbagi di rumah ini. Meskipun mungkin bukan untuk sesuatu yang istimewa bagi pembaca tetapi setidaknya menjadi catatan sejarah keluarga kami yang entah kapan mungkin akan berguna. Kami akan mulai lembaran baru keluarga kami di tahun 2010.

Tuesday, April 06, 2010

Easter show - Fox Studio, 2010


Mulanya kami berencana pergi ke Sydney Olympic Park untuk menyaksikan Easter Show, namun harus kami urungkan niat karena alasan transportasi, waktu dan finansial. Ternyata utk kesana lebih dari $200 bisa habis utk tiket masuk, pertunjukan dan oleh-oleh.

Namun tak perlu kecewa karena kami tetap pergi ke Easter Show yang gratis untuk tiket masuknya di Fox Studio, Sydney. Permainan dan shownya lebih sedikit tapi Lita tetap bisa menikmatinya.
Naik Unta bersama Ugek, putri bungsu mb Dyah....
I wish I have a camel pet :)
Still,Puppy is my favourite
With Pony...
Jagung manis harga $4...
Antri naik komedi putar