Jogja-Jakarta
Untuk pertama kalinya aku ke eropa. Melangkah menuju airport Jogja rasanya sangat berat, bukan karena Eeropa yg harus ditempuh 17.5 jam dari jogja, tapi karena harus kutinggalkan gadis kecilku di Jogja. Hanya dia kekuatanku satu-satunya utk berani melangkah. Never stop learning, itu yg selalu kutekankan padanya dan pada diriku. Jogja-Jakarta terasa sangat lama karena memang keberangkatan pesawatku delay 1 jam. Garuda punya reputasi yg baik sebenarnya tapi entahlah kenapa kali ini lain.
Ada ibu setengah baya duduk disebelahku. Gayanya sih orang berada yg biasa terbang, tapi pertanyaannya padaku meruntuhkan persepsiku. Mbak, kalau tiket ini ada nomer tempat duduknya gak? Kusebutkan nomer tempat duduk yg tertera di boarding pass itu. Saya biasanya bawa mobil sendiri mbak dari Medan-Jogja, tapi karena meetingnya buru2 jadi tumben naik pesawat nih. Diapun, dengan usia yang sudah cukup matang, baru pertama kali naik pesawat ke Medan. Akupun baru pertama kali naik pesawat ke Eropa. Kami mempunyai kesamaan rupanya.
Untuk pertama kalinya aku ke eropa. Melangkah menuju airport Jogja rasanya sangat berat, bukan karena Eeropa yg harus ditempuh 17.5 jam dari jogja, tapi karena harus kutinggalkan gadis kecilku di Jogja. Hanya dia kekuatanku satu-satunya utk berani melangkah. Never stop learning, itu yg selalu kutekankan padanya dan pada diriku. Jogja-Jakarta terasa sangat lama karena memang keberangkatan pesawatku delay 1 jam. Garuda punya reputasi yg baik sebenarnya tapi entahlah kenapa kali ini lain.
Ada ibu setengah baya duduk disebelahku. Gayanya sih orang berada yg biasa terbang, tapi pertanyaannya padaku meruntuhkan persepsiku. Mbak, kalau tiket ini ada nomer tempat duduknya gak? Kusebutkan nomer tempat duduk yg tertera di boarding pass itu. Saya biasanya bawa mobil sendiri mbak dari Medan-Jogja, tapi karena meetingnya buru2 jadi tumben naik pesawat nih. Diapun, dengan usia yang sudah cukup matang, baru pertama kali naik pesawat ke Medan. Akupun baru pertama kali naik pesawat ke Eropa. Kami mempunyai kesamaan rupanya.
Jakarta-Kuala Lumpur
Walaupun kedatangan pesawat dari jogja terlambat untung aku masih punya waktu utk check in di keberangkatan international. Hanya satu kekhawatiranku, mudah2an fiskal bias lolos. Ada cerita di balik fiscal ini. Sehari sebelum keberangkatanku, aku chatting dengan suamiku. Aku tanya ”eh Yah habis check-in terus ke mana?” Ayah menjawab ”Oh check fiscal dulu baru masuk gate.” Hahhh? Fiscal? Aku lupa belum urus NPWP. Konon jika punya NPWP aku akan terbebas membayar fiscal sebesar 2,5 jt. Aku gak mau itu terjadi. Akhirnya aku registrasi online dan keesokan harinya ke kantor pajak utk mengambil kartu. Singkat cerita hari itu juga jadi. Lega rasanya, terbayang uang 2,5 jt tidak jadi melayang. Tapi begitu kartu itu ditanganku dan ngobrol lebih jauh tentang rencana keberangkatanku besok ke Swiss, tiba2 petugas itu menjelaskan bahwa kartu baru terdaftar tapi baru ada di system 3 hari lagi. Jadi aku tetep harus bayar fiscal. Hahhhh….. luluh lantak harapanku, uang itu akan melayang juga. Lunglai… diatas motor badanku gontai ternyata sia-sia usahaku….
Cerita dari Sasi, teman dekatku agak menenangkanku, ternyata jika punya visa luar negeri (negara mana saja) yang masih berlaku dan bukti pernah melapor di perwakilan Indonesia di negara tersebut ada dipaspor yg artinya saat itu sedang berstatus tinggal di luar negeri tidak akan ditarik fiscal. Aku punya visa Australia yang masih aktif, mudah2an ini bisa jadi jalan keluar. Pak Yodipun menenangkanku, “ya innocent aja, kalaupun bayar nanti diganti Tropmed.” katanya Wah melegakan semua. Dalam antrian check in aku ngobrol dengan seorang bapak dari Malaysia yg berdiri didepanku, dengan logatnya yg membuatku rindu dengan sahabat-sahabat Malaysiaku di Australia. Dia seorang bisnisman yg dalam setahun 2-3 kali ke Jakarta. Prospek ekonomi di Indonesia dinilainya maju pesat. Yang aku terkesan ketika tiba saatnya dia maju ke counter, dia beri kesempatannya padaku, akupun tak mau, tapi dia meyakinkanku bahwa aku harus menerima tawarannya. How gentleman bapak ini. Terimakasih Pakcik…..
Di meja fiscal itu… kuserahkan pasporku…. Wah hari ini lumayan ramai ya pak…. Kataku…. Itu saran suamiku utk membuka pembicaraan denga petugas fiscal supaya terkesan kita sudah terbiasa datang dan pergi ke luar negeri. Saran yg cukup tidak masuk akal sebenernya untuk meloloskanku dari fiscal. Tapi it did work. Tapi itu bukan karena pertanyaanku itu mengandung magic, tapi memang dia melihat status visa Australiaku dan bukti lapor konjen di halaman belakang. Hahhhh lega rasanya.
KLM 810 adalah Dutch Airways yg akan menerbangkanku menuju Amsterdam dengan transit di Kuala Lumpur. Untung tidak ada delay, bahkan tepat waktu. Sebelum take off tak lupa aku kirim sms bb_unreg kirim ke 333 utk menonaktifkan fasilitas bb dan internet yg konon amat sangat mahal jika dipakai di luar negeri. No 25E adalah kursiku…. Aha aku duduk di tengah diapit seorang bule dan seorang Malaysia. Bule artinya aku tak tau darimana yg pasti kulit putih. Singkat kata kami ngobrol. Dia seorang Italian, bisnisman…. Mumpung dia seorang European akupun gunakan kesempatan tanya banyak hal tentang Swiss, Bahas Perancis, cuaca, dll. Diapun banyak bertanya tentang Indonesia terutama tentang penyakit malaria, mudah-mudahan dia tidak menguji ilmu kedokteranku, tapi memang dia ingin tahu. Bukan karena dia ganteng saja, aku menjadi akrab dengannya, tapi aku mau uji coba kemampuan Bahasa Inggrisku dengan orang Eropa. Ternyata memang beda ketika bicara dengan seorang Australia yg penuh dgn slang. Aku sangat mudah mendengar setiap kata yg dia ucap. Singkat kata, aku tahu bahwa namanya STEPHANO LAUSANO… Sebuah kebetulan, aku akan menuju kota Lausanne seperti nama belakang laki-laki itu.
Kuala Lumpur - Amsterdam
Tidak banyak kali ini aku berinteraksi dengan penumpang di sebelahku. Bukan karena dia wanita aku gak selera ngobrol dengannya tapi mata ini tidak mau kompromi utk menutup karena perjalan kali ini dari jam 9 malam hingga 6 pagi. Mataku hanya terbuka sesaat ketika pramugara yg ganteng-ganteng itu membawakan makan malam atau snack atau minuman kepadaku. Selanjutnya tidur. Rencanaku untuk membaca journal itu atau menonton movie aku urungkan. Tidur sepertinya solusinya.
Amsterdam - Geneva
Amsterdam, Negeri Kincir Angin itu terlihat masih tenggelam dalam kegelapan ketika pesawatku mendarat tepat puku 6.10 pagi. Kali ini aku harus pindah pesawat KLM 1925. Kudekati mesin check in di pintu keluar. Lalu kuikuti langkah penumpang lainnya menuju gate C13. Antrian itu sangat panjang sebelum bertemu dengan orang imigrasi Belanda. Sekitar 1 menit mengantri berdiri dan mengantuk akhirnya lewat juga dan langsung masuk pesawat. Pesawat ini jauh lebih kecil dari sebelumnya. Penumpangnya pun tak banyak, kenapa ya? Padahal weekend biasanya org suka jalan-jalan. Jawabannya nanti.
Seorang ibu datang menghampiriku, pasti dia akan duduk disebelahku pikirku. Benar, ibu itu duduk dekat jendela. Pertanyaan cuaca rasanya topik yg tepat utk membuka sebuah percakapan dengan orang barat. Jangan pernah Tanya usia, status pernikahan dan jumlah anak. Cara ini pun berhasil. Ibu ini datang ke Geneva utk menghadiri pemakaman kakaknya, yg jg seorang dokter. Beliau meninggal karena serangan jantung yg kedua. Ibu ini, yg tak lama kemudian aku tau namanya Narges Savary, sangat menyayangkan kakaknya yg ahli jantung akhirnya harus meninggal karena penyakit jantung. Ini karena dokter terlalu sibuk mengurusi kesehatan orang lain sementara tidak sempat mengurusi kesehatannya sendiri. Tapi kan dokter juga manusia, dia bisa sakit, bisa sedih, bisa capek, bisa marah…. Yang pasti dia sangat bersedih. Topikpun berkembang dan menuju ke arah keluarga. Dia serang Iranian, bersuamikan Palestina, dengan anak kandung 5 orang yg semuanya sudah dewasa dan hidup sendiri. Saat ini dia punya 4 orang anak lagi dirumahnya… tentu saja bukan karena dia melahirkan anak lagi, tapi mereka adalah anak adopsi. Sungguh mulia hati ibu ini sampai mengadopsi 4 anak orang tak mampu dari palestina. Diapun menawarkan rumahnya utk dikunjungi jika mampir ke Amsterdam. Tambah satu temanku, kamipun bertukar kartu nama. NARGES SAVARY
Geneva - Lausanne
Sampai di Geneva kuambil bagasiku yg hanya satu koper kecil supaya bebas pergerakanku, aku langsung menuju pintu keluar. Tak ada custom yg ketat seperti waktu di Amsterdam ataupun Australia. Entah kenapa, mungkin karena dianggap penerbangan Uni Eropa ya…. Mataku mencari petunjuk menuju Geneva Airport station. Dalam perjalanan kubertemu seorang bapak yg nampaknya juga punya arah tujuan yang sama. Dia ternyata orang new York yang sering datang ke Geneva utk bisnis. Tiket (Billets) intercity dengan nama kereta SBB (entah apa kepanjanjangannya) menuju Lausanne seharga 25 CHF, ini transaksi pertamaku dengan mata uang CHF. Tinggal dikalikan 9250 saja akan menjadi rupiah. Atau kita kalikan seribu aja biar terasa murah, no big deal lah…. Perjalanan memakan waktu 45 menit. Aku duduk di lantai atas, dekat restoran, tapi tidak di dalam restoran. Bon apettite… tulisan dipintu masuknya. Jadi ingat 4 kata yg aku pelajari sehari sebelum berangkat: bonjour, bonjoir, merci, bon apetite. Kali ini nambah billets. Ternyata belajar bahasa orang menyenangkan juga, terutama kalau dalam situasi kepepet. Kereta itu berhenti di Lausanne sebelum melanjutkan perjalanan menuju Zurich.
Lausanne airport - CHUV
Turun dari kereta, kuperlambat langkah kakiku sampil mencari kata-kata exit atau petunjuk menuju metro. Menurut catatanku aku harus naik metro M2 menuju Croissetes berhenti di CHUV. Aku baru tersadar, tak ada satupun tanda dalam Bahasa Inggris…. Semua dalam bahasa yg aku tak paham, French. Sortie… aku menduga, pasti ini keluar artinya. Ramai… namaya juga stasiun ya. Mataku mencari tanda ”i” atau informasi… yg pasti tahu Bahasa Inggris utk aku tanya. Di seberang ada tulisan metro, tapi gak yakin itu subway ato nama toko. Putus asa, akhirnya aku bertanya pada 2 laki-laki yg kuanggap nampak intelek dengan harapan bisa Bahasa Inggris… jawabannya: metro… bla bla bla…. in French… kecewa hatiku, sambil ngedumel ganteng2 kok gak bisa Bahasa Inggris :) Langkahku gontai menuju keluar gedung itu, dan akupun menemukan information disana. Setelah antri lama, petugaspun meyakinkanku bahwa subway metro memang di seberang jalan itu. Akupun jalan menuju ke sana. Sekarang beli tiket dulu… hanya ada mesin. Untung ada opsi English disana… 2,8 CHF… keretapun datang 2 menit kemudian dan mengantarku ke CHUV. CHUV adalah hospital of Lausanne. Tepat sekali, setelah 2 kali stop, aku pun sampai CHUV. Kulihat gedung besar itu, hospital batiment, yg artinya gedung rumah sakit. Kubuka catatanku: jalan 3 menit naik ketemu MC restoran dan ke kanan. Entah memang aku sudah lelah dengan perjalanan yg memakan waktu 15 jam lebih dengan perbedaan waktu 5 jam sehingga aku kena jetlag, tapi jalan naik bukit 3 menit itu terasa naik gunung Himalaya. Nafasku terputus2 sambil mata mencari alamat gedung tempat tinggalku. De Shalaz 10 – 14.
De shalaz 10, 243
Kubuka lagi catatanku: cari gedung 10 lantai bawah utk mengambil kunci kamar. Kuketuk pintunya, kupencet belnya, sampai kugedor pintu itu, tak ada yg jawab… artinya tak ada orang. Rasa lelah ini membuatku sedikit mudah panik. Apalah jadinya perjalanan yg terasa lancar ini kacau karena aku harus tidur di luar akibat tak ada kunci. Kucari orang sekitar utk bisa kutanya. Seorang gadis di belakang gedung sedang konsentrasi memotret kupu2 dengan camera nikonnya. Akupun memberanikan diri mengganggu lamunannya. Menurutnya tak pernah ada petugas saat weekend. Dia sendiri adalah penghuni gedung yg sama denganku. Lalu apa yg hrs kulakukan? Aku coba cari peserta lain yg mgkn sudah datang. Ternyata aku orang pertama yg datang. Jadi tak ada pilihan lain selain menelpon security dengan HPku yg terisi 500 rb. 5 menit bicara rasanya lama terutama karena pulsaku dalam sekejab habis setengahnya. Tapi aku tak ada pilihan lain. Jawabannya, aku harus kembali ke gedung RS itu utk ambil kunci kamar. Membayangkan perjuangan naik bukit lagi membuatku sedikit emosi. Emosi karena informasi yg diberikan panitia salah. Di gedung yg sama aku bertemu partisipan lain dari India, BISWANATH BASHU. Kamipun meninggalkan koper disana dan menuju ke CHUV. Sebuah amplop diberikan dengan tulisan nama dan no kamar. Name: Mr. Palupi… wahhhh aku dikira mister…. :) Dalam perjalanan kembali, aku bertemu kawan lain dari Vietnam NGUYEN KIM CHONG. Satu persatu aku bertemu dengan kawan2 lain: DORCAS YEBOAH dari Ghana, CHAMILA ADHIKARAM dari Srilangka, juga KAMAL RAJ dari Nepal.
[bersambung] …