Tidak mudah menjaga keakraban dan terutama kehangatan keluarga ketika berjauhan. Sudah lebih dari setengah tahu kami hidup berpisah, saya dan Asti di Sydney dan Lita di Jogja bersama mbahnya. Kalau boleh memilih dengan bebas, tentu kami tidak ingin hal seperti itu terjadi. Apa daya, saat ini rasanya ini yang terbaik. Entahlah, semoga memang demikian adanya.
Selama berpisah ini, komunikasi kami terjadi dengan bantuan teknologi informasi. Untung ada Skype, saya dan Asti bisa ngobrol sama Lita setiap hari. Meski teknologi memungkinkan, tidak selalu mudah menciptakan suasana agar percakapan bisa terjadi dengan hangat. Tidak mudah mengajak Lita untuk bisa bercakap-cakap dengan kami dalam waktu lama karena memang tidak banyak topik yang bisa menarik perhatiannya.
Tanggal 30 Juni saya sempat bertemu Lita sejenak, setelah berpisah selama kurang lebih tiga bulan. Saya mampir ke Indonesia dalam kunjungan ke Kuala Lumpur dan Singapura untuk berpartisipasi dalam konferensi dan diskusi meja bundar. Saya hanya punya waktu dua hari untuk mampir ke Indonesia dalam perjalanan ke Sydney dan itupun hanya ke Bali.
Demi bisa bertemu, kami atur sedemikian rupa sehingga Asti sudah ada di Bali tanggal 30 Juni. Lita terbang sendiri ke Bali dari Jogja naik Garuda dan akhirnya kami bisa bertemu sore hari tanggal 30 Juni. Lita menjemput saya di Bandara bersama Ninik, Pekak, Om Upik (adik saya) dan Bu Iluh (kakak saya). Pertemuan itu tentu saja menyenangkan. Meski demikian, toh saya tetap harus berbagi waktu dengan teman-teman lain. Dari bandara kami meluncur ke kopi kultur di Sunset Road untuk berbagi bersama Akademi Berbagi Bali dengan topik "public speaking".
Malam itu saya dan Lita menghabiskan waktu berdua menyusun lego, hadiah dari Asti untuk Lita. Lego itu berbentuk rumah untuk Barbie yang ternyata pembuatannya tidak mudah. Kami menghabiskan waktu hingga jam 1 subuh untuk bisa hampir menyelesaikan lego itu. Yang jelas kami sangat menikmatinya. Ini video singkat reuni itu, terutama saat kami menyelesaikan lego Barbie itu. Sangat menyenangkan.
Hari-hari terlewati dengan keterpisahan dengan Lita. Ayah dan Ibu di Sydney, Lita masih tetap di Jogja. Interaksi dilakukan dengan Skype dan alan komunikasi lainnya. Malam ini, Lita punya ide yang brilian, kami melakukan camping bersama. Lita membuat tenda camping dengan menggunakan selimutnya dengan cara menutupi komputer yang digunakan untuk chating. Akibatnya, kami yang di Sydney melihat Lita terkurung dalam selimut yang menaunginya, seperti tenda. Untuk menimbulkan efek camping yang sama, kami di Sydney diminta masuk ke dalam selimut juga. Akhirnya iPad dibawa masuk ke dalam selimut dan jadilah kami ngobrol seperti halnya bersama-sama ada di dalam tenda. Seru sekali dan Lita sangat menikmatinya. Obrolan jadi panjang dan beraneka temanya. Meskipun gerah karena musim panas di Sydney, kami sangat menikmati camping di dunia maya itu. Ini beberapa foto yang berhasil diabadikan :)
Lita dann ayah saat merencanakan camping di dunia maya
Sudah mulai camping, semuanya di bawah selimut
Salah satu pose saat camping
Dengan camping seperti ini, Lita menjadi tambah semangat untuk berkomunikasi. Tadi malam, misalnya, kami camping lagi sambil belajar perkalian. Sepertinya Lita lebih mudah diajak belajar sambil bermain seperti ini. Katanya, pernah suatu hari belajar Bahasa Indonesia sambil nonton TV dan nilainya bisa 100. Demikian cara Lita menjustifikasi bahwa belajar sambil bermain itu hasilnya bisa bagus. Begitulah Lita yang kreatif :)
Sejak Asti tinggal di Sydney, saya juga bergabung tinggal di Sydney. Sejak itu pula komposisi komunikasi berubah. Yang biasanya 1 di Wollongong dan 2 di Jogja, kini menjadi 2 di Sydney dan 1 di Jogja. Hari ini Lita belajar perkalian dipandu Ayah Ibunya yang ada di Sydney. Berikut video yang direkam dari hasil komunikasi Skype.
Tanggal 17 Januari 2013 adalah hari yang penting karena Asti memulai hidup baru di Sydney sebagai mahasiswa S2 di UNSW. Asti dapat beasiswa ADS untuk melajutkan master di bidang public health untuk periode 1 tahun ke depan. Kedatanyan Asti ke Sydney kali ini berbeda, meskipun sudah datang ke kota ini sembilan tahun lalu. Kali ini berbeda karena datang sebagai mahasiswa, bukan dependent seperti dulu.
Hari-hari pertama dilewati dengan bernostalgia mengunjungi tempat-tempat yang sering didatangi dulu. Hari pertama mengunjungi Darling Harbour di malam hari lalu meluncur ke Wollongong esok harinya dengan naik kereka antar kota. Sydney, bagi Asti, mungkin masih seperti dulu tetapi status sebagai mahasiswa sekarang tentu menimbulkan ketegangan tersendiri. Selamat datang Asti, selamat berjuang.
Saya sejatinya tidak mudah galau tetapi hari ini merasakan galau yang teramat sangat. Hari ini Asti, isteri saya, bertolak ke Bali untuk selanjutnya menuju Sydney tanggal 16 Januari nanti. Asti, seperti yang pernah saya ceritakan, berhasil mendapatkan beasiswa ADS dan akan memulai sekolah S2 di UNSW pada akhir bulan ini. Yang membuat galau tentu saja bukan kedatangan Asti ke Sydney yang justru saya syukuri. Yang merisaukan adalah Lita, anak saya, yang tertinggal di Jogja. Mulai hari ini Lita secara resmi terpaksa kami tinggal di Jogja dan kami sementara akan hidup di Negeri Kangguru. Saya tidak menemukan kata-kata yang dramatis untuk menggambarkan kegalauan hati kami.
Banyak yang bertanya, mengapa Lita tidak dijak saja ke Australia, berkumpul bersama orang tuanya. Hal ini tentu sudah menjadi pertimbangan kami. Alasan utamanya adalah saya yang akan pulang ke Indonesia mendahului Asti sehingga akan lebih rumit lagi urusannya jika Lita diajak sekarang dan nanti Asti dan Lita saya tinggal berdua di Sydney. Tentu tidak mudah bagi Asti untuk menyelesaikan tugas sekolah dan mengurus seorang anak yang membutuhkan perhatian. Singkat kata, berbagai pertimbangan mengarahkan pada keputusan bahwa Lita tetap akan berada di Jogja. Selain kerumitan perjalanan, ada urusan administrasi sekolah yang juga akan terganggu. Syukurlah seluruh keluarga besar mendukung keputusan ini.
Sore tadi, sekitar jam 1 WIB saya sudah online dengan Asti lewat Skype, menyaksikan dia berkemas di saat-saat terakhir. Penerbangannya sedianya jam 4 sore menuju Bali (saat saya menulis ini, Asti masih di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta karena keberangkatannya ditunda akibat hujan lebat). Sementara itu, saya melihat Lita asik bermain di komputernya, sesekali saya dengar suara kartun kesukaannya yang ditonton lewat Youtube. Sepintas nampak biasa saja tetapi saya tahu hatinya murung. Beberapa malam terakhir ini Lita beberapa kali tiba-tiba menangis dan berkeluh kesah soal keberangkatan ibunya. Sesiap-siapnya anak kecil, ada kesedihan mendalam yang tidak bisa diungkapnya ketika akan ditinggal ibunya. Saya memahami ini dengan baik. Hari ini Lita nampak sudah tegar karena sudah beberapa kali diberi pengertian. Saya agak tenang.
Tiba-tiba, entah darimana asalnya, Lita menangis terisak. Rupanya dia teringat lagi akan kepergian ibunya beberapa saat lagi dan kesedihan melanda hatinya. Saya yang melihat adegan itu dari seberang benua hanya bisa tersenyum getir. Berusaha menenangkan dengan suara yang berusaha saya yakin-yakinkan. Tidak ada satu kata-kata motivasipun yang bisa meredakan sedih saya. Astipun mendekap Lita, mbah puteri mendekati dan saya juga memberinya hiburan. Saya tidak tega menyuruhnya diam atau sekedar berkata “jangan sedih” karena nasihat itu jelas-jelas bertentangan dengan apa yang saya rasakan. Akhirnya Lita diam, setelah perhatiannya pelan-pelan diarahkan ke beberapa mainan dan binatang. Saya hanya menyatakan terima kasih saya yang tulus atas segala pengertiannya, tidak layak rasanya memberi nasihat.
Asti masih berkemas, suasana mulai sedikit genting karena hujan mulai turun sementara waktu berlalu cepat. Sebelum berangkat saya minta Asti dan Lita berpelukan di depan kamera Skype dan saya abadikan foto keluarga virtual itu. Lita mendekap ibunya dengan erat seakan tidak ingin dilepaskan. Ada isakan lagi, tidak saja dari mulutnya tetapi dari dalam hatinya. Saya kembali tersenyum getir menenangkan. Meskipun sedih, Lita luar biasa dalam hal kompromi. Dia tidak pernah harus dipaksa untuk urusan yang satu ini. Diapun melepaskan ibunya meski dengan berat hati.
Tibalah waktunya Asti beranjak dari rumah, naik motor diantar oleh anak kos. Meninggalkan rumah dalam keadaan hujan, naik motor dengan kopor yang cukup besar dan meninggalkan seorang anak yang berlinang air mata bukanlah hal yang menyenangkan. Tetapi hidup harus berjalan. Kami sudah menetapkan pilihan dan pantang untuk berbalik arah apalagi mundur. The show must go on. Astipun hilang dari pandangan Lita dan mbahnya. Sementara itu, saya dengan sabar menemani Lita lewat Skype. Saya tanyakan berbagai hal untuk mengalihkan perhatiannya. Saya tahu, Lita tidak bisa ditipu. Semua harus dijelaskan dengan baik dan apa adanya, tidak ada sembunyi-sembunyi, apalagi urusan perpisahan. Yang bisa dilakukan hanya memenuhi kepalanya dengan banyak urusan lain yang disukainya sehingga dia bisa terhindar dari hantaman sedih yang berkepanjangan.
Kegalauan ini mengingatkan saya lagi bahwa keberhasilan itu sesungguhnya hanya satu titik kecil dari sebuah bangunan besar perjuangan yang harus dilakukan dengan keringat dan air mata. Bahwa keberhasilan memenangkan beasiswa ADS yang dikagumi orang itu sesungguhnya buah sebentuk perjuangan besar dan bisa jadi ada sebagian orang yang harus rela melepas kenikmatannya. Kami bersyukur atas keberhasilan Asti mendapatkan kesempatan sekolah di UNSW. Meski demikian, perlu diingat bahwa keberhasilan itu harus dibayar dengan perpisahan yang mengharu biru. Kita memang mudah silau oleh keberhasilan tetapi jarang sempat menyimak seberapa pengorbanan yang harus dilakukan untuk menuai keberhasilan itu.
Meski sedih dan rumit, kami tidak menyesal. Kerumitan itu kami ciptakan sendiri karena keberanian mencoba-coba dan bermain dengan risiko. Jika kini kami harus membayarnya, ini semata untuk membuktikan bahwa memang tidak ada kenikmatan yang datang dengan mudah tanpa bersakit-sakit. Saya mensyukuri Lita yang tabah luar biasa, orang tua dan mertua yang tidak perlu dipertanyakan dukungannya dan adik kakak serta ipar yang senantiasa ada dan bahkan menggantikan kewajiban kami. Sulit rasanya menemukan orang yang seberuntung kami dengan dukungan luar biasa. Maka jika ada yang bertanya “milik siapakah sesungguhnya keberhasilan ini?” jawabanya adalah “milik keluarga besar kami dan teman-teman yang selalu membantu.”
Saya menuliskan ini untuk menjinakkan kegalauan sekaligus berbagi. Bahwa perjuangan meraih beasiswa itu memang berat tetapi tidak ada apa-apanya dibandingkan menjalani beasiswa itu hingga tuntas. Kesulitan akan hadir, maka bersiaplah. Pejuang yang sesungguhya memang dibesarkan oleh tantangan dan dikuatkan oleh kesulitan. Bahwa bayangan keindahan saya yang akan bertemu dengan Asti harus dilatari kesedihan perpisahan dengan Lita. Ini mungkin jadi penanda bahwa tidak semestinya orang terlena dengan kenikmatan karena selalu ada kesedihan yang mengancam dan mengintip setiap saat. Dan seperti kata orang bali, Rwa Bineda, ada dua hal yang selalu hidup berpasangan untuk menyeimbangkan: sedih-bahagia, hitam-putih, pertemuan-perpisahan.
Satu pelajaran penting yang saya petik adalah bahwa keterlibatan saya membantu perjuangan para pemburu beasiswa ADS dan beasiswa lainnya sesungguhnya bagian dari sebuah sejarah besar, jauh lebih besar dari sekedar lolos seleksi. Sejarah itu turut menentukan jalan hidup yang di dalamnya ada pertemuan yang menaikkan adrenalin dan perpisahan yang mengharu biru. Dan saya hanyalah seorang ayah biasa yang teriris hatinya melihat air mata puteri semata wayangnya turut menjadi saksi perjuangannya. Terima kasih Lita, selamat berjuang Asti.